Nataniel Ndimar: Sar untuk Menjaga Alam Kanum 

Saat berkunjung ke Kampung Tomerauw pada akhir April 2016, masyarakat sedang disibukkan dengan mencari ikan untuk menambah penghasilannya. Mereka pergi ke rawa-rawa dan pesisir laut untuk mencari ikan yang sering mereka sebut dengan ikan katipu. Pada saat musim ikan inilah kesempatan masyarakat untuk mencari ikan hingga ke laut. Pada musim ikan sebagian besar warga kampung akan melakukan aktivitas di laut bukannya di ladang. Saya berkunjung ke Kampung Tomerauw pada saat musim ikan ini. Jadi sebagian besar warga kampung menghabiskan waktunya di rawa dan laut untuk mencari ikan. Yang tersisa di kampung adalah beberapa anak-anak kecil dan para perempuan. Sebagian besar dari mereka juga ikut ke rawa dan pantai untuk mencari ikan. Yang masih tinggal di kampung adalah petugas kesehatan, tentara penjaga perbatasan, dan anak-anak yang masih balita. Saat musim ikan ini kampung akan menjadi sepi karena warganya mencari ikan.

Sebenarnya Kampung Tomerauw adalah kampung dengan mayoritas marga Ndimar. Nataniel Ndimar sebagai kepala kampung mengungkapkan bahwa sebagai kampung dari Suku Kanum, Tomerauw adalah kampung yang tidak bisa dipisahkan dari Rawa Biru sebagai kampung lama yang merupakan basis dari Suku Kanum sendiri. Di Kampung Tomerauw jumlah warga terdiri dari 98 KK dengan marga-marga yaitu Ndimar, Maiwa, Mbangu, Sanggra, dan Kul. Selain marga-marga dari Suku Kanum tersebut, terdapat juga para pendatang dari NTT sejumlah dua KK (Kepala Keluarga), Sulawesi satu KK dan pendatang dari Jawa sebanyak satu KK.

Nataniel Ndimar menuturkan bahwa terdapat banyak pengetahuan lokal masyarakat yang masih dipergunakan hingga kini di kampung. Ndimar menjelaskan bahwa untuk menjaga lingkungan alam dari kepunahan mereka menerapkan konsep Sar yang bisa disamakan dengan pelaksanaan sasi adat untuk melestarikan sumber daya alam yang berada di sekitar lingkungan alam mereka. Wilayah-wilayah yang menerapkan Sar akan menjaga lingkungannya dari pemanfaatan yang mereka lakukan selama ini. Wilayah-wilayah Sar inilah yang tidak bisa diganggu gugat untuk pemanfaatannya. Masyarakat Kanum biasanya akan melakukan Sar di wilayah-wilayah yang menjadi sumber penghidupan mereka sehari-hari. Sar dilakukan saat masyarakat merasa bahwa sumber daya alam yang menjadi sumber penghidupan mereka di dusun-dusun rawa, kayu, dan sagu mulai terasa habis atau masyarakat melihat ada orang-orang luar yang mencuri kayu dan sumber daya lain dari kampung mereka.

Salah satu rawa yang ada di Kampung Tomerauw. Rawa ini membelah jalan menuju ke Kampung Tomerauw (foto: I Ngurah Suryawan)

Salah satu rawa yang ada di Kampung Tomerauw. Rawa ini membelah jalan menuju ke Kampung Tomerauw (foto: I Ngurah Suryawan)

Sar (Sasi) Adat dan Rawa

Pelaksanaan Sar tidak dapat diganggu gugat oleh siapapun jika sudah diputuskan untuk dilakukan. Sar sengaja dilakukan untuk melindungi lingkungan alam yang merupakan wilayah ulayat masing-masing marga. Warga Kampung Tomerauw mempunyai kepercayaan bahwa dalam pelaksanaan Sar nanti setidaknya akan ditemukan beberapa orang yang menyalahi aturan dengan merusak lingkungan alam mereka. Oleh sebab itulah Sar sengaja dilakukan untuk memberikan hukuman kepada orang-orang yang secara sengaja merusak alam, selain tentu saja untuk menjaga kelestarian alam. Pelaksanaan Sar atau sasi adat itu ditandai dengan pemasangan Mengga, daun kelapa di Tanam Misar, yaitu nama kayu dari Tomerauw yang biasanya digunakan untuk tanda Sar. Setelah itu, Mengga dan Tanam Misar ini kemudian diikat dengan tali dari pohon kelapa. Jika menemukan tanda-tanda seperti itu di lokasi dusun sagu, kayu ataupun rawa dan sungai, bisa dipastikan bahwa di lokasi tersebut sedang diberlakukan sasi adat. Jadi jangan mengharapkan untuk mencari sesuatu di lokasi tersebut. Masyarakat Tomerauw mempercayai jika bersikeras untuk mencari sesuatu di lokasi pemberlakuan sasi adat, maka bahaya akan siap mengancam cepat atau lambat.

Pelaksanaan sasi adat berlangsung lebih kurang dua hingga tiga tahun untuk kemudian dibuka kembali bagi masyarakat memanfaatkan sumber daya alam di lingkungan tersebut. Pembukaan sasi adat dilakukan dengan acara adat juga. Acara adat yang dilakukan adalah dengan membunuh babi, menokok sagu, melengkapinya dengan udang yang mereka dapatkan di sungai dan rawa untuk kemudian dibagikan kepada kerabat yang ada di kampung. Tanda sasi adat yang biasanya dilakukan di dusun-dusun sagu dan kayu ini kemudian dilepas. Saat dilepasnya Sar adat pelaksanaan dilakukan di dusun-dusun sagu dengan mengundang sanak family di kampung untuk menyaksikannya. Marga yang melakukan pembukaan Sar akan mengundang jaringan kekerabatannya untuk melihat langsung dan membagikan berbagai makanan di lokasi dusun sagu. Beberapa diantara makanan itu adalah hasil dari olahan sagu yang mereka sebut dengan Sef, yaitu makanan dari sagu yang diolah menyerupai makanan seperti nasi untuk dibagikan pada pelaksanaan acara adat.

Wawancara saya dengan Nataniel Ndimar, Kepala Kampung Tomerauw di para-para rumahnya (foto: I Ngurah Suryawan)

Wawancara saya dengan Nataniel Ndimar, Kepala Kampung Tomerauw di para-para rumahnya (foto: I Ngurah Suryawan)

Salah satu Sasi yang juga sering dilakukan oleh masyarakat Tomerauw adalah Sasi rawa yaitu usaha untuk menjaga berkembangbiaknya ikan-ikan yang berada di wilayah Suku Kanum di Tomerauw. Sasi rawa ini biasanya dilakukan jika sudah melihat hasil tangkapan ikan penduduk di kampung sudah  mulai menurun. Saat saya datang pada bulan April 2016 ke Tomerauw, masyarakat kampung sedang bergembira karena inilah bulan musim panen ikan yang ada di rawa-rawa di sekitar kampung. Ini juga berarti adalah rezeki besar bagi warga kampung. Mereka telah puasa untuk musim ikan selama dua tahun lamanya pada saat Sar. Setelah Sar dibuka berarti ikan-ikan sudah berkembang biak dengan baik dan saatnya untuk ditangkap. Saya menyaksikan tidak ada pembukaan Sar (sasi adat) yang saya saksikan sore itu di Kampung Tomerauw. Memang saya hanya beberapa jam saja di Tomerauw sebelum kembali lagi ke Wasur.

Jalan pulang menuju Kampung Wasur dari Kampung Tomerauw (foto: I Ngurah Suryawan)

Jalan pulang menuju Kampung Wasur dari Kampung Tomerauw (foto: I Ngurah Suryawan)

Nataniel Ndimar mengungkapkan bahwa jika musim ikan di rawa tiba, maka bisa dipastikan “orang-orang kota”, begitu mereka menyebutnya akan datang menuju Tomerauw dengan menyiapkan puluhan cool box (tempat pendingin ikan). Para “orang-orang kota” ini akan rela untuk menunggu di kampung berjam-jam guna mendapatkan ikan dari para warga. Nataniel Ndimar mengungkapkan bahwa ikan-ikan yang mereka dapatkan dalam jumlah banyak karena pemberlakuan Sar (Sasi). Masyarakat di Kampung Tomerauw sangat menghormati pelaksanaan Sar ini, termasuk juga orang-orang dari luar kampung yang masih memahami arti penting dari pelaksanaan Sar rawa ini. Namun tidak demikian dengan “orang-orang kota” ini. Mereka dengan gampang saja datang ke kampung untuk mendapatkan hasil dari masyarakat kampung yaitu ikan rawa. Masyarakat kampung mendapatkan uang dan begitu seterusnya.

Nataniel Ndimar pada sore itu mengungkapkan bahwa masyarakat di kampong belum berpikir untuk mengelola hasil ikan mereka secara mandiri. Yang ada dalam pikiran mereka adalah menjual dan mendapatkan uang dengan sesegera mungkin. Hingga kini masyarakat di Kampung Tomerauw belum pernah untuk mengelola hasil bumi sendiri. Oleh karena itulah orang-orang luar selalu melihat peluang kekayaan sumber daya alam yang dimiliki oleh Kampung Tomerauw. Sehingga yang terjadi adalah orang-orang luar selalu mencuri hasil alam, termasuk yang ada di rawa-rawa yang sangat kaya. Ndimar mencontohkan sumber daya yang terdapat di rawa-rawa yang berada di belakang kampung. Setelah memberlakukan Sar, yaitu larangan bagi semua orang untuk mencari ikan, udang, dan berburu buaya, mahluk hidup yang berada di rawa mempunyai perkembangan yang baik. Oleh sebab itulah setelah Sar dibuka, bisa dipastikan bahwa hasil yang akan didapatkan akan lebih banyak.