Petrus Ndimar: Ngaluter dan Kanggania 

Saat datang menginjakkan kaki ke Kampung Tomeraw kembali pada 26 September 2016, saya bersama Agustinus Mahuze menemui Petrus Ndimar. Meski menjadi keturunan termuda dari marga Ndimar yang ada di Tomeraw, Petrus masih mengingat bagaimana awal mulanya ia bersama keluarga bisa berada di Tomeraw. Ia menceritakan bahwa nenek moyangnya memang bukan berasal dari Tomeraw asli, yang sekarang menjadi kampung ini. Para leluhur dari Petrus Ndimar berasal dari Rawa Biru yang menjadi pusat dari perkembangan orang Kanum di Merauke. Mereka tinggal di Rawa Biru dan meneruskan keturunannya. Jaringan perkawinan membuat orang Kanum di Rawa Biru menyebar hingga ke beberapa wilayah di Kampung Sota, Yanggandur, hingga ke wilayah pesisir selatan seperti Tomer, hingga Kondo. Termasuk juga yang dialami oleh keluarga dari Petrus Ndimar. Orang tuanya membangun jaringan perkawinan dengan orang Kanum di Tomeraw.

Hubungan perkawinan inilah yang melahirkan hubungan kekerabatan, saling baku tukar perempuan dengan orang-orang Kanum di berbagai kampung. Hubungan ini membuat mereka kemudian tersebar dan tinggal di berbagai kampung-kampung hingga sekarang. Keluarga Petrus Ndimar sendiri berasal dari Rawa Biru dan mama dari Tomeraw. Sejak ia lahir, bersama keluarganya kemudian ia tinggal di Tomeraw karena ada saudara-saudara dan ipar-ipar dorang yang mengajak tinggal di Tomeraw. Mereka awalnya tinggal di wilayah-wilayah kavlingan yang dipersiapkan oleh tetua marga orang Kanum, baru kemudian pemerintah Indonesia datang dari belakang untuk membangun kampung ini.

Orang Kanum menyebut wilayah yang sekarang disebut Kampung Tomeraw ini sebagai Ngaluter yang berarti tanah tinggi. Di tanah tinggi ini pulalah orang Kanum, khususnya Kanum Smarkey, sub bagian dari orang Kanum berkembang. Petrus kemudian mengingat saat berbondong-bondong pindah ke Tomeraw terjadi perkawinan diantara orang Kanum sendiri secara turun-temurun. Setelah terbangun kampung maka orang-orang Kanum yang ada di berbagai wilayah mulai berdatangan ke Tomeraw, termasuk yang berada di Korkari. Korkari adalah wilayah yang disebut kampung lama di wilayah pesisir selatan Merauke yang menjadi awal persebaran orang Kanum selain di Rawa Biru di bagian atas (daratan).

Mewawancarai Petrus Ndimar di rumahnya Kampung Tomeraw (foto: Agustinus Mahuze)

Mewawancarai Petrus Ndimar di rumahnya Kampung Tomeraw (foto: Agustinus Mahuze)

Persebaran orang Kanum di wilayah pesisir dari mulai di atas (gunung) yaitu Korkari berlanjut beberapa keluarga ada yang menetap di Kampung Kondo hingga sekarang bersama orang Marind. Orang-orang Kanum yang menetap di Kondo merasa tidak nyaman hidup bersama orang Marind sehingga memilih untuk kembali ke Korkari. Oleh sebab itulah hingga saat ini masih ada orang-orang Kanum yang menetap di Korkari (kampung lama) meski daerah itu tidak menjadi kampung secara administratif. Orang-orang Kanum yang berasal dari Rawa Biru dan  Yanggandur akhirnya menetap di Tomeraw hingga sekarang. Sementara orang Kanum yang menetap di Tomer dan Onggaya sebagaian besar berasal dari Rawa Biru dan Yanggandur.

 

Petrus Ndimar menjelaskan tentang Ngaluter Bahasa Kanum yang berarti tanah tinggi yang sekarang menjadi Kampung Tomeraw (foto: Agustinus Mahuze)

Petrus Ndimar menjelaskan tentang Ngaluter Bahasa Kanum yang berarti tanah tinggi yang sekarang menjadi Kampung Tomeraw (foto: Agustinus Mahuze)

Petrus Ndimar menuturkan bahwa marga-marga yang datang ke Tomeraw mempunyai sejarah karena adanya perkawinan dengan dua marga besar yang yaitu Ndimar dan Maiwa. Dua marga orang Kanum yang datang ke Tomeraw karena perkawinan adalah Sanggra dan Banggo sehingga kedua marga ini disebut sebagai marga yang masuk ke Tomeraw. Secara khusus di Tomeraw yang menjadi ketua adat yang mengatur kehidupan orang Kanum adalah Yunus Maiwa. Di setiap kampong-kampung orang Kanum mempunyai ketua adatnya.

Petrus Ndimar menuturkan bahwa masing-masing marga Kanum di Tomeraw mempunyai wilayah sendiri-sendiri untuk mencari makan untuk kehidupannya. Secara khusus marga Ndimar di masing-masing kampung mempunyai wilayah mencari makan sendiri-sendiri. Petrus Ndimar mengingat bahwa saat ia masih di Rawa Biru, orang tuanya mempunyai hak ulayat empat persegi untuk mencari makan di wilaayh tersebut. Ingat jangan sampai keluar bercocok tanam atau berburu di wilayah tersebut. Iya mengingat ucapan orang tuanya bahwa hanya boleh berkebun di wilayah empat persegi itu saja.

Petrus Ndimar menjelaskan bahwa Kanggania adalah tempat ulayat marga Ndimar di Kampung Tomeraw untuk mencari makan kehidupan sehar-hari (foto: Agustinus Mahuze)

Petrus Ndimar menjelaskan bahwa Kanggania adalah tempat ulayat marga Ndimar di Kampung Tomeraw untuk mencari makan kehidupan sehar-hari (foto: Agustinus Mahuze)

Di Tomeraw kini Petrus Ndimar mempunyai tanah ulayat untuk melanjutkan kehidupannya bernama Kanggania yaitu “dusun” tempatnya untuk bekebun dan berburu. Dusun dalam pemahaman orang Papua secara umum adalah tempat, biasanya hutan, untuk mereka berkebun, berburu, dan menjalankan semua aktivitas untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Di Kanggania, Petrus dan keluarganya berkebun rica, patatas, pisang, dan mengolah sagu untuk kebutuhannya sehari-hari. Dusun Kanggania ini besar sekali sehingga dibagi-bagi oleh marga Ndimar yang ada di Tomeraw.