Petrus Ndimar: Mpurta Lambang Marga

Selain mempunyai dusun penyangga hidup bernama Kanggania marga Ndimar di Kampung Tomeraw juga mempunyai lambang marga yang mereka sebut Mpurta dalam bahasa Kanum. Mpurta berarti adalah tanah. Ya, marga Ndimar di Kampung Tomeraw memiliki lambang marga adalah tanah. Mereka juga mempunyai hewan penting yang tidak bisa dibunuh yaitu burung elang. Dalam bahasa Kanum disebut dengan Ncikaka. Marga-marga lain sudah tahu bahwa burung elang adalah hewan yang disakralkan oleh marga Ndimar sehingga mereka tidak akan memburu atau membunuhnya. Salah satu tumbuhan yang juga disakralkan oleh marga Ndimar adalah pohon kelapa yang dalam bahasa Kanum disebut dengan Topolu.

Petrus Ndimar mengungkapkan bahwa masing-masing marga sudah mengetahu lambing marga masing-masing dan sama-sama mengerti. Ada sebagian marga juga yang secara diam-diam memburu atau membunuh dan memanfaatkan hewan atau tumbuhan yang disakralkan oleh marga tertentu. Ia menuturkan bahwa sebelumnya orang Kanum di Tomeraw sangat mudah sekali berburu bintang. Bahkan binatang-bintang bisa datang sendiri di dekat rumah. Namun kondisi sekarang berubah drastis. Petrus Ndimar menuturkan bahwa sebagian besar hewan dan tumbuh-tumbuhan yang mereka anggap sakral dan pamali (dilarang) untuk dimusnahkan sudah sedikit demi sedikit punah.

Orang Kanum sekarang sudah setengah mati untuk cari makan di kampungnya sendiri. Orang-orang dari kota (Merauke) datang ke kampung-kampung untuk ikut juga mencari sumber kekeyaan alam yang ada. Jadi sekarang bukan hanya orang Kanum di kampung saja yang mencari kebutuhan hidup di alam miliknya sendiri, tapi juga orang luar yang memanfaatkan alam orang Kanum. Kekayaan alam orang Kanum di rawa dan juga di darat menjadi sasaran orang-orang kota yang berburu bahkan menadah hasil tangkapan orang Kanum sendiri. Kebutuhan ekonomi dan kelangsungan hidup menjadi alasan bagi orang Kanum untuk bekerjasama bahkan menjual hasil tangkapan mereka kepada orang-orang dari luar. Maka tidaklah heran para penadah ikan, pisang, ubi, dan hasil kebun lainnya datang ke Tomeraw untuk mengambil hasil bumi orang Kanum. Orang Kanum sering menyebut mereka sebagai “daeng-daeng” atau “mas-mas Jawa” untuk menunjuk kepada asal para penadah ini yang kebanyakan dari Sulawesi dan Jawa.

Salah satu tempat sakral marga Ndimar di Kampung Tomeraw (foto: I Ngurah Suryawan)

Salah satu tempat sakral marga Ndimar di Kampung Tomeraw (foto: I Ngurah Suryawan)

Petrus Ndimar mengungkapkan bahwa sulitnya orang Kanum kini hidup karena sudah mulai berkurangnya hewan-hewan sehingga mereka harus sampai ke pelosok hutan untuk berburu bintang. Salah satu bintang yang menjadi incaran para pemburu adalah kangguru (Saham dalam bahasa Suku Marind). Orang Kanum dulu sangat mudah mencari kangguru. Binatang ini bisa datang mendekati rumah-rumah penduduk tanpa rasa takut sedikitpun. Namun kini untuk mencari kangguru setengah mati. Satu hari mencarinya belum tentu bisa mendapatkannya, itupun harus mencarinya ke tengah hutan dengan bersepeda motor dan berbagai perlengkapan lainnya.

Oleh sebab itulah kini orang Kanum tidak bisa mengandalkan hidup dari berburu saja seperti sebelumnya. Meski kini mereka masih berburu namun tentu saja itu sangatlah sulit. Kini mereka lebih memilih untuk membuka kebun di ujung kampung untuk menanam berbagai jenis tanaman yang bisa mendatangkan uang. Diantaranya adalah pisang, rica, ubi, petatas, sayuran, jahe, kunyit dan yang lainnya. Ada juga beberapa orang Kanum berkebun di sekitar halaman rumah mereka. Namun kebanyakan dari mereka memilih untuk berkebun di ujung kampung sesuai dengan tanah ulayat mereka masing-masing.

Salah satu yang menjadi langganan para penadah datang adalah ikan-ikan. Para “daeng” dan “mas jawa” akan menunggu hasil tangkapan masyarakat lokal. Ikan di Rawa Biru sangatlah kaya sehingga para penadah sudah mempunyai langganan masyarakat local untuk mencari ikan. Mereka hanya akan mengambil hasil tangkapan tersebut dan kemudian membayarnya. Petrus Ndimar menungkapkan bahwa yang terjadi sekarang adalah “orang kampung yang cari, orang kota yang ambil”. Satu hari sudah ratusan ekor ikan yang dicari untuk kebutuhan manusia. Begitu seterusnya. Maka tidaklah heran jika ikan-ikan di Rawa Biru akan berkurang suatu hari nanti.

Para pemburu sedang menuju Kanggania, dusun marga Ndimar untuk mencari ikan gastor dan rusa (foto: I Ngurah Suryawan)

Para pemburu sedang menuju Kanggania, dusun marga Ndimar untuk mencari ikan gastor dan rusa (foto: I Ngurah Suryawan)

Kondisi yang sulit sekarang menyebabkan semua orang melanggar aturan yang telah ditetapkan. Aturan tersebut misalkan saja adalah pembagian wilayah-wilayah marga untuk mencari makan masing-masing. Hal yang lainnya adalah wilayah-wilayah yang ditetapkan untuk Sar/Sasi (dilarang untuk dimanfaatkan), kini sudah tidak diindahkan lagi. Semuanya diserobot untuk kebutuhan makan.

Di daerah-daerah orang Kanum banyak terdapat hewan-hewan yang mereka anggap sebagai asli daerah mereka. Terdapat berbagai jenis ikan dengan penamaannya dalam Bahasa Kanum, juga bintang-bintang lainnya. Air yang dalam bahasa Kanum disebut dengan Kon adalah tempat ikan-ikan yang menjadi kepemilikan orang Kanum di wilayah mereka. Sementara di wilayah-wilayah tinggi (Ter) terdapat hewan-hewan seperti rusa, kangguru, dan babi yang berkembangbiak. Para penadah-penadah yang datang ke Tomeraw akan membeli semua hasil tanggakapan dari masyarakat baik itu ikan, hewan, maupun hasil-hasil kebun masyarakat.