Nataniel Ndimar: Menjaga Dusun Yawalkal  

Ntemeti, esi, ntemeti dinen katipo. Ntemeti bonu kanisi telu bon supa.

[Teteh (kakek), saya minta ikan pada teteh. Teteh, ini ada pinang, kapur, dan lempeng]

Perjalanan menuju Kampung Tomerauw di Distrik Distrik Noukenjerai, Kabupaten Merauke, Provinsi Papua saya tempuh dengan penuh perjuangan bersama dengan Agustinus Mahuze. Kami berangkat dari Kampung Wasur pada siang hari pukul 11.00 WIT mengendarai sepeda motor di tengah situasi musim hujan di Kabupaten Merauke secara keseluruhan. Pemandangan yang saya saksikan selama perjalanan dari Wasur ke Tomerauw adalah begitu banyaknya pos-pos TNI (Tentara Nasional Indonesia) di setiap kampung. Ada perbedaan yang gamblang terlihat di sepanjang kampung-kampung yang saya lewati tentang pemukiman para pendatang dan masyarakat etnik Marind atau Kanum. Pemukiman mereka terpisah dan terlihat jelas perbedaan kualitas rumah diantara mereka.

Wilayah-wilayah sungai dan laut di sepanjang perjalanan mengitari Merauke. Sungai-sungai dengan hutan sagu dan hutan kayu mengelilingi di sepanjang perjalanan menuju Tomerauw. Di sepanjang sisi kiri dan kanan hutan yang lebat dengan liku-liku aliran sungai menuju lautan lepas tampak mengalir. Beberpa rumah-rumah penduduk berada di sisi jalan maupun menjorok menuju aliran sungai. Di tempat-tempat itulah sumber kehidupan orang Kanum dan Marind yang berada di sepanjang jalan Wasur menuju Tomerauw. Rawa-rawa yang berada di sepanjang jalan ditumbuhi oleh pohon sagu dan berbagai tumbuhan lainnya. Di tempat itu pulalah masyaralat lokal biasanya akan mencari ikan untuk kemudian dijual kepada orang-orang dari kota (Merauke) yang sebagian besar berasal dari Makassar.

Perjalanan dari Wasur ke Tomerauw di tengah jalan yang sangat buruk memerlukan waktu hingga lima jam. Saya harus beberapa kali turun dari motor karena tidak memungkinkan untuk menaiki motor berboncengan bersama dengan Agus Mahuze. Saya sudah lupa berapa kali saya harus turun dari sepeda motor kami dan berjalan melewati lumpur-lumpur di sepanjang jalan. Saya menyadari bahwa jadwal kedatangan saya ke Tomerauw tidaklah pas. Saya datang pada saat masih musim hujan dan bisa dipastikan jalan-jalan menuju ke kampong-kampung sepanjang Tomer, Tomerauw dan yang terujung adalah Kondo akan sangat buruk. Dan benar saja, saya mendapatkan pengalaman yang sangat berharga ketika harus melewati jalan-jalan rusak akibat tergenang air dan dilewati oleh truk-truk pengangkut pasir dan bahan bangunan ke kampung-kampung.

Perjalanan menuju salah satu kampong dari etnik Kanum Smarkey di Kampung Tomerauw saat jalan berlumpur (foto: I Ngurah Suryawan)

Perjalanan menuju salah satu kampong dari etnik Kanum Smarkey di Kampung Tomerauw saat jalan berlumpur (foto: I Ngurah Suryawan)

Memasuki kampung Tomerauw pada pukul 14.00 WIT, saya disapa oleh pos TNI (Tentara Nasional Indonesia) di daerah perbatasan. Selanjutnya adalah jembatan kayu yang di ujungnya sudah berlubang. Jembatan kayu membelah sungai besar yang berada di Kampung Tomerauw. Di sungai inilah para tentara yang bertugas di kampung sering memanfaatkannya untuk memancing bahkan untuk mandi. Sungai ini mempunyai air yang jernih dan juga pemandangan yang indah karena membentang hingga ke ujung pantai. Memasuki kampung, berdiri gapura bambu berwarna merah putih dan bertuliskan hari kemerdekaan Republik Indonesia, 17 Agustus 1945 – 17 Agustus 2015.

Saya bersama Agus Mahuze menyempat singgah ke sebuah kios (warung) kecil di rumah pertama di kampung. Berdiri di depan kios tersebut adalah dua orang anggota TNI yang ternyata bertugas di pos Tomerauw. “Mau bertemu siapa bang,?” tanya mereka kepada saya. Saya menjawabnya dengan singkat untuk menemui kepala kampung yaitu Nataniel Ndimar. Saya juga melanjutkan bahwa saya berasal dari sebuah universitas di Papua dan bertemu kepala kampong untuk keperluan penelitian. Setelah singgah di kios saya bersama Agus Mahuze bergegas menemui kepala kampung yang disebutkan baru saja tiba di kampung setelah beberapa hari berada di kota Merauke.

Dikelilingi oleh rawa-rawa sepanjang jalan menuju salah satu kampung dari etnik Kanum Smarkey di Kampung Tomerauw (foto: I Ngurah Suryawan)

Dikelilingi oleh rawa-rawa sepanjang jalan menuju salah satu kampung dari etnik Kanum Smarkey di Kampung Tomerauw (foto: I Ngurah Suryawan)

Sejarah Kampung

Rumah kepala kampung, Nataniel Ndimar adalah rumah yang tepat berada di depan dari Puskesmas (Pusat Kesehatan Masyarakat) di kampung. Saya menjumpainya di para-para (tempat duduk dan berkumpul) yang ia buat di samping rumah utamanya. Meski peluh belum juga kering dan lumpur di kaki masih melekat, saya bergegas mewawancari Pak Nataniel dibantu oleh Agus Mahuze yang merekam keseluruhan wawancara kami.

Awal terbentuknya Kampung Tomerauw terjadi pada tahun 1945 ketika para tetua-tetua Suku Kanum-Smarkey yang sebagian besar masih terpencar di hutan-hutan dekat dengan sumber kehidupan mereka yaitu sagu dan kumbili (ubi jalar). Mereka berkebun dan tinggal bersama di hutan untuk melanjutkan kehidupan. Lokasi hutan sagu dan kebun mereka itulah kini menjadi wilayah-wilayah sakral dan ulayat masing-masing marga yang mendiami Tomerauw. Beberapa diantara wilayah-wilayah tersebut kini telah dijadikan untuk tempat mencari ikan, menokok sagu dan menebang kayu untuk keperluan membuat rumah atau dijual kepada orang-orang dari kota.

Pada saat zaman Belanda di Merauke tahun 1940-an dan berlanjut saat pertentangan terhadap Papua antara Indonesia dan belanda tahun 1960-an, beberapa diantara marga-marga yang hidup bersama di hutan memilih untuk berpindah ke Papua New Guinea (PNG). Oleh sebab itulah beberapa marga-marga dari Suku Kanum hingga kini masih tetap tinggal di PNG, diantaranya adalah marga Maiwa, Ndimar dan Mul. Beberapa diantara mereka juga masih memilih untuk tetap tinggal di hutan-hutan di sekitar kampung sekarang yaitu di dusun-dusun sagu untuk bertahan hidup.

Mewawancarai Nataniel Ndimar, kepala Kampung Tomerauw (foto: I Ngurah Suryawan)

Mewawancarai Nataniel Ndimar, kepala Kampung Tomerauw (foto: I Ngurah Suryawan)

Situasi itu berubah saat Papua dikuasai oleh Indonesia pada tahun 1970-an setelah seelasainya Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat) 1969. Pada masa itulah masyarakat Suku Kanum yang berada di hutan-hutan di sekeliling Kampung Tomerauw sekarang dipanggil untuk kembali menetap secara bersama-sama. Pemerintah Indonesia pada saat itu menginginkan masyarakat yang hidup terpecancar-pencar itu hidup di suatu tempat. Masyarakat Suku Kanum yang masih berada di Negara PNG paling menjadi perhatian, dan diharapkan kembali ke saudara-saudara mereka di Kabupaten Merauke. Suku Kanum lokasinya tersebar di pesisir pantai Merauke mulai dari Sota dan daerah Arupe di PNG. Oleh sebab itulah beberapa orang dari Suku Kanum berada di PNG. Suku Kanum sendiri yang sekarang berada di Kampung Tomerauw terdiri dari beberapa marga yaitu: Ndimar, Maiwa, Mbangu, Sanggra, dan Kul. Marga-marga tersebut juga ada di wilayah-wilayah Suku Kanum sendiri di Rawa Biru dan yang lainnya di Merauke.

Nataniel Ndimar menjelaskan lambang untuk marga Ndimar sendiri adalah burung elang, kelapa, dan ular patola. Ia menjelaskan bahwa marga Ndimar sendiri sebanrnya berasal dari Kampung Rawa Biru yang merupakan kampung lama mereka. Ndimar menyebutkan istilah Weu yang menjadi istilah untuk kampung lama di Rawa Biru. Dari kampung lama itulah mereka kemudian mengenal berbagai marga lain dan kemudian menjalin persaudaraan dengan marga Kul dan Sanggra. Dari kampung lama di Rawa Biru, para moyang dari marga Ndimar, Kul, dan Sanggra kemudian memutuskan untuk tinggal di Tomerauw bersama. Mereka kemudian menjalin hubungan kekerabatan karena proses perkawinan sehingga dipanggil dengan pangkat ipar. Marga Ndimar yang sekarang berada di Tomerauw banyak yang mempunyai anak mantu (menantu) yang masih berada di Rawa Biru. Oleh sebab itulah khusus untuk marga Ndimar lebih banyak yang berada di Rawa Biru. Marga Ndimar jugalah yang mempunyai kawasan Rawa Biru itu, disamping juga jumlah mereka yang memang mayoritas di tempat tersebut. Sementara marga Kul dan Sanggra yang juga berada di Rawa Biru bersama-sama ke Tomerauw tapi dengan jumlah yang lebih sedikit daripada Ndimar.

Nataniel Ndimar menjelaskan Dema adalah pandangan hidup dari berbagai etnik yang ada di Merauke. Dema adalah Tuhan yang dipercayai oleh orang Merauke sebagai asal-muasal dari keberadaan mereka di dunia. Nah, bagi marga Ndiken perwujudan Dema itu ada pada ular patola dan burung gagak yang kecil yang merupakan symbol atau lambang dari marga Ndiken. Selain kepercayaan terhadap binatang yang menjadi perwujudan dari Dema, menurut Nataniel Ndiken, marganya juga mempunyai terhadap tempat sakral yang mempengaruhi kehidupan marga Ndiken secara khusus. Tempat-tempat sakral tersebut memiliki hubungan dengan leluhur atau para moyang dari marga yang bersangkutan. Marga Ndimar memiliki tempat sakral bernama Yawalkal yang merupakan dusun sagu sekaligus dusun kayu yang berada di sekitar wilayah dari Kampung Tomerauw. Dusun sagu tersebut sebelumnya adalah sumber penghidupan bagi marga Ndimar sehari hari untuk memenuhi kebutuhan hidup dan tempat mencari kayu untuk membuat rumah dan keperluan lainnya. Para leluhur dari marga Ndimar sering memanfaatkan Yawalkal selain untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari juga untuk mencari buah kemiri dan ikan gastor. Kedua kebutuhan tersebut hanya bisa didapatkan di Yawalkal dan menjadi ciri khas dan kebiasaan warga di Kampung Tomerauw.

Berdiri di depan salah satu rawa untuk menuju Dusun Yawalkal di Kampung Tomerauw (foto: I Ngurah Suryawan)

Berdiri di depan salah satu rawa untuk menuju Dusun Yawalkal di Kampung Tomerauw (foto: I Ngurah Suryawan)

Dusun Yawalkal dipercayai oleh Suku Kanum di Kampung Tomerauw sebagai tempat dimana para moyang/leluhur mereka tinggal. Di dusun tersebut ada moyang yang bertugas untuk melindungi para keturunan mereka yang berada di kampung. Warga Kanum di kampung mempercayai bahwa para leluhur yang berada Dusun Yawalkal sudah mengenal keturuan mereka. Oleh sebab itulah bagi orang-orang baru yang datang ke kampung, para moyang akan mengetahuinya. Beberapa pengalaman menunjukkan bahwa orang-orang baru yang dating ke Tomerauw dan bertujuan tidak baik akan mengalami musibah. Masyarakat di Kampung Tomerauw biasanya akan menghaturkan pinang dan lempeng di Dusun Yawalkal sebagai bentuk penghormatan mereka terhadap para leluhur.

Ritual yang mereka lakukan adalah menyiapkan pinang dan lempeng untuk dihaturkan di depan pohon besar dan kemudian berbicara kepada teteh, moyang dan para leluhur agar diberikan keselamatan selama berada di dusun Yawalkal dan juga dalam menjalankan kehidupan sehari-hari di kampung. Pinang dan lempeng biasanya akan diletakkan di tanah di depan pohon besar. Tujuan dari ritual ini adalah sebagai bentuk persembahan dan penghormatan kepada para leluhur agar tidak membuat susah keturunannya yang masih hidup, agar diberikan keselamatan dalam menjalani hidup. Intinya adalah para leluhur tersebut jangan bikin susah kita yang masih hidup. Ritual ini sering dilakukan oleh masyarakat yang berada di kampung jika berkepentingan di Dusun Yawalkal.

Kayu-kayu yang tumbuh di Dusun Yawalkal Kampung Tomerauw (foto: I Ngurah Suryawan)

Kayu-kayu yang tumbuh di Dusun Yawalkal Kampung Tomerauw (foto: I Ngurah Suryawan)

Tempat keramat lainnya adalah tanah rawa luas yang di dalamnya terdapat pulau yang disebut dengan Seringga yang berarti pohon pinang. Di Seringga itulah terdapat moyang yang bernama Teteh jenggot panjang yang sering membuat orang lain susah jika bermaksud buruk di Kampung Tomerauw. Teteh jenggot panjang ini sering berubah menjadi ular untuk member pelajaran kepada orang-orang yang bermaksud tidak baik yang datang ke Toemrauw. Teteh jenggot panjang ini biasanya akan sangat marah jika ada orang-orang dari kampung lain datang ke Dusun Yawalkal untuk memotong kayu dan merusak hutan. Teteh jenggot panjang ini merasa tidak mengenal orang lain yang melakukan niat buruk tersebut sehingga memberikan pelajaran dengan berbagai cara.

Masyarakat di Kampung Tomerauw sering sekali bertemu secara nyata maupun dalam mimpi dengan Teteh jenggot panjang ini. Biasanya teteh ini akan berjalan di wilayah kampung pada malam hari dan kemudian berbicara dengan masyarakat yang ia temui. Dalam pembicaraan tersebut, teteh jenggot ini akan memberitahukan siapa saja orang-orang yang merusak alam mereka. Teteh jenggot panjang ini akan menemui warga kampung baik di kehidupan sehari-hari maupun di dalam mimpi mereka. Maka mereka akan bersama-sama menceritakan kejadian bertemu dengan Teteh jenggot panjang. Pengalaman pertemuan inilah yang sering diceritakan  oleh para warga Kampung Tomerauw. Pengalaman mereka “bertemu” baik di alam nyata maupun dalam mimpi dengan Teteh jenggot panjang ini seputar pelaku-pelaku yang merusak lingkungan alam mereka. Teteh jenggot panjang selalu mengingatkan bahwa lingkungan alam mereka selalu terancam oleh kedatangan orang-orang yang bermaksud jahat dengan mengambil hasil-hasil alam. Masyarakat di Kampung Tomerauw selalu percaya dengan kehadiran Teteh jenggot panjang yang mereka sebut sebagai utusan dari para moyang atau leluhur. Hal ini disebabkan peringatan yang diucapkan olehnya selalu menjadi kenyataan.

Jika Teteh jenggot panjang datang menemui masyarakat maka bisa dipastikan bahwa ada orang-orang yang akan merusak dusun-dusun yang menjadi sumber mata pencaharian mereka. Nataniel Ndimar mencontohkan ada seorang warga yang bercerita kepadanya di rumah bahwa pada malam harinya bermimpi didatangi oleh Teteh jenggot panjang begitu juga dengan seorang warga lainnya yang melihat Teteh jenggot panjang di kebun. Keduanya dinasehati untuk memperhatikan orang-orang luar yang datang ke kampung dan kasi rusak tempat (kampung). Tidak lama setelah pertemuan itu, terjadilah pengambilan kayu oleh orang-orang dari kota (Merauke).