Lukas Ndiken dan Dominikus Kaize: Sensor Kayu dan Hutan yang Rusak

Lukas Ndiken dan Dominikus Kaize, dua paitua (orang tua) yang saya temui di Kampung Wasur sama-sama berkeluh kesah tentang situasi hutan adat di kampungnya yang mulai rusak. Warga kampung bekerjasama dengan “orang kota”—untuk menyebut para penadah kayu-kayu hasil penebangan warga—untuk mengambil hasil kayu hutan adat di Kampung Wasur. Saat saya dating di bulan April 2016 masih musim hujan sehingga tumbuh-tumbuhan di hutan tumbuh subur, namun tidak demikian dengan situasi pada musim kemarau. Jika musim kemarau dan panas terik terjadi di Wasur, maka bisa dipastikan bahwa hutan-hutan akan terbakar. Dominikus Kaize melanjutkan, “Jika anak tra percaya, kitong bisa lihat sisa-sisa hutan terbakar sepanjang jalan trans Papua Merauke ini,” jelasnya.

Warga Kampung Wasur memang masih percaya bahwa daerah-daerah yang ke dalam hutan masih belum terjamah oleh para tukang sensor, tapi bukan tidak mungkin akan habis ditebang. Tempat-tempat pamali dan sakral bagi Suku Marori Mengey memang berada tersebar di bagian pinggir dan dalam hutan mereka. Tempat khusus untuk bagian pinggir hutan biasanya ada tempat-tempat keramat yang biasanya ditandai dengan pohon beringin tua atau sumur-sumur sebagai mata air. Di tempat-tempat itulah biasanya marga pemilik tempat pamali tersebut menghaturkan sirih pinang, lempeng dan rokok kepada leluhur-leluhur mereka yang masih tinggal di lokasi tersebut. Dominikus Kaize masih mengingat di Mesei, yaitu lokasi keramat dari marga Kaize yang berupa sungai kecil dan rawa sagu terdapat pohon beringin tua yang diyakini sebagai warisan dari nenek moyang. Di pohon beringin tua itulah biasanya marga Kaize menempatkan siring pinang, lempeng dan juga rokok sebelum mengambil sesuatu di Mesei.

Berdekatan dengan Mesei adalah Kali Dualol yang juga merupakan tempat keramat bagi marga Kaize. Dominikus Kaize mengisahkan pernah pada suatu hari para pemburu dari kota yang belum meminta izin kepada moyang di Mesei berburu di sekitar kali Dualol yang terkenal dengan kali yang dalam. Para pemburu dari kota ini membawa anjing untuk berburu. Tanpa diduga sebelumnya tiba-tiba ada burung Kasuari melintang di tengah jalan saat pemburu mulai memasuki kali Dualol. Semua pemburu tersebut heran dan meyakini ada sesuatu yang aneh terjadi. Dari kejadian itu, Dominikus Kaize meyakini bahwa di tempat-tempat sakral tersebut masih diawasi oleh para leluhur. Oleh warga kampung, terhadap kejadian aneh-aneh tersebut sering menyebutnya sebagai Kudung yaitu mahluk yang menyerupai manusia dengan tangan dan kaki terputus dan badan terbakar. Domikus Kaize meyakini bahwa melihat Kudung berarti menandakan bahwa para leluhur Marori Mengey itu sudah cacat dan sedih melihat hutan tempat mereka tinggal sudah dirusak oleh keturunanya sendiri.

Dominikus Kaize sedang berjalan di wilayah Mesei, tempat keramat marga Kaize di Kampung Wasur (foto: I Ngurah Suryawan)

Dominikus Kaize sedang berjalan di wilayah Mesei, tempat keramat marga Kaize di Kampung Wasur (foto: I Ngurah Suryawan)

Jika Dominikus Kaize dan Lukas Ndiken berkeluh kesah tentang situasi hutan mereka yang sudah rusak dan leluhur yang cacat, tidak demikian halnya dengan generasi muda dan tua lainnya di Kampung Wasor yang seolah berlomba-lomba untuk mensensor kayu. Jika tidak sedang hujan maka bisa dipastikan rumah-rumah akan kebanyakan sepi. Pagi-pagi beberapa warganya akan membeli bensin di kios-kios kampung untuk bahan bakar mesin sensor dan motornya. Setelah itu mereka akan berloma-loma menuju hutan-hutan untuk mensensor kayu. Berbarengan dengan itu, para perempuan dan juga anak-anak akan pergi juga ke hutan mencari kayu bakar atau buang jaring mencari ikan.

Pada suatu hari di sebuah kios tempat penjualan bensin saya bertanya kepada seorang lelaki muda Marori. “Tong pi sensor kayu kaka (kita pergi memotong kayu dengan mesin),” ujarnya sambil menjingjing mesin sensor dengan bensinnya serta perlengkapan makan minum. Bergegas mereka yang berjumlah empat orang melintas berlalu memacu dua kendaraan bermotor dengan suara knalpot memecah telinga. Usia keempat orang tersebut saya kira masih sekitar 20-an tahun. Sejak pagi hari mereka sudah bersiap di mata jalan (ujung jalan) untuk memulai aktivitas utama mereka di kampung: mensensor kayu.

Sensor kayu adalah aktivitas laki-laki tua maupun muda untuk “berburu” kayu-kayu di tengah hutan dan kemudian dijual kepada penadah kayu yang berasal dari kota Merauke yang rela datang atau memasang “orang-orangnya” di Kampung Wasur. Mereka, para penadah kayu ini biasanya berani untuk memberikan uang di muka kepada warga kampung untuk mendapatkan kayu langsung dari warga. Karena tuntutan “perut” (ekonomi), maka masyarakat dengan berbagai cara mencari kayu di hutan-hutan di sekitar kampong. “Semua baku balomba,” ungkap Lukas Ndiken. Anak-anak muda yang akan menebang kayu, jika ditanya oleh warga akan menjawab, “Mau masuk ke rumah teteh.” Ungkapan tersebut berarti bahwa akan pergi ke hutan untuk mensensor kayu.

Lukas Ndiken melihat perilaku “pencuri kayu” dari warga kampung melewati batas-batas wilayah marga mereka. Orang-orang lain yang tidak memiliki hak atas wilayah tersebut juga masuk dan juga dari orang luar yang menadah kayu atau memakai kaki tangannya yang warga di kampung untuk mencari kayu. Sebenarnya menurut Lukas Ndiken masing-masing marga sudah mempunyai dusun-dusun sendiri untuk mencari penghidupan, bukan hanya mensensor kayu tetapi juga mencari sayur-sayuran, menokok sagu dan juga berburu. Tapi yang terjadi sekarang justru sebaliknya, semuanya berburu uang untuk keperluan makan dengan menjual kepada para penadah kayu dari kota. Bahkan Lukas Ndiken mengungkapkan para penadah kayu dari kota bisa memberikan uang lebih awal kepada keluarga-keluarga di kampung agar nanti hasil sensornya diberikan kepadanya.

Kayu-kayu yang berada di hutan-hutan marga Suku Marori Mengey dan masuk ke wilayah Taman Nasional Wasur jika terus disensor akan cepat habis. Lukas Ndiken mengkhwatirkan habisnya kayu di hutan-hutan Wasur sehingga tidak ada lagi sumber penghasilan para warga kampung. Ia mengungkapkan:

Kitong memikirkan anak-anak kita ke depan. Kenapa kita tidak bisa olah alam seperti saudara-saudara di Jawa yang bisa olah tanah. Kitong ke hutan-hutan terus karena dimanja oleh alam. Hutan su sediakan semua.

 

Anak-anak Marori Mengey yang juga ikut mencari kayu bakar bersama dengan mama dan saudara-saudaranya (foto: I Ngurah Suryawan).

Anak-anak Marori Mengey yang juga ikut mencari kayu bakar bersama dengan mama dan saudara-saudaranya (foto: I Ngurah Suryawan).

Jika pada musim panas yang ada di kampung adalah perempuan-perempuan saja. Para lelakinya akan mencari kayu ke hutan-hutan. Hanya dengan mencari kayu uang akan cepat didapat dibandingkan pekerjaan lainnya seperti berkebun atau mencari ikan. Sebagian besar para lelaki di Kampung Wasur menggantungkan hidupnya untuk mencari kayu dan menjualnya kepada penadah kayu. Pekerjaan berkebun bisa dihitung dengan jari yang dilakukan oleh Suku Marori Mengey. Pekerjaan berkebun biasanya dilakukan oleh para pendatang dari NTT dan Maluku atau suku lainnya.

Lukas Ndiken menuturkan jika harapan hanya mensensor kayu itu berarti tidak ada apa-apa bagi orang Marori Mengey. Jika pada tahun 2030 kayu sudah habis, harapan hanya kayu bakar untuk dijadikan uang yang semakin lama semakin menipis. Harapan lain tidak ada. Suku Marori Mengey sebenarnya mempunyai tanah luas tetapi tidak mampu untuk mengolah tanah tersebut menjadi makanan dan uang untuk menyambung hidup. Yang dilakukan selama ini adalah memanfaatkan hasil alam yang ada tanpa mampu mengolahnya.