Lukas Ndiken: Burung Ndik dan Wati

Saat pertama kali menginjakkan kaki di Merauke pada 10 April 2016, saya sudah membayangkan bagaimana nantinya menuju Wasur. Iya Kampung Wasur di kawasan Taman Nasional Wasur (TNW) tempat saya melakukan penelitian lapangan. Bersama Agustinus Mahuze, setelah mendarat di Bandara Udara Mopah Merauke, saya menuju Waskam (Wasur Kampung) begitu masyarakat sering menyebutnya. Kami menggunakan sepeda motor dan membutuhkan waktu kurang lebih 30 menit dari Kota Merauke ke Kampung Wasur. Sebelum sampai ke Kampung Wasur, saya menyaksikan rumah-rumah panggung di sisi jalan trans Papua yang menghubungkan Kota Merauke dan daerah Sota, wilayah terakhir yang berbatasan dengan Negara Papua New Guinea (PNG). Rumah-rumah panggung tersebut ternyata adalah pemukiman para transmigran yang dominan dari Pulau Jawa. Tidaklah heran jika nama-nama warung di pinggir jalan adalah nama-nama seperti Ojo Lali, Sudi Mampir dan bahasa-bahasa Jawa lainnya. Para penjual gorengan, warung makan, dan warung lalapan selain kios-kios kecil sangat gampang ditemukan di sepanjang jalan.

Memasuki jembatan satu-satunya setelah melewati gapura Taman Nasional Wasur, gapura putih sederhana berdiri tegak menandai saya sudah memasuki Kampung Wasur. Hanya sekitar 50 M setelah gapura saya melihat rumah pertama di kawasan kampung tersebut yang ternyata adalah tempat saya akan tinggal selama penelitian lapangan di Kampung Wasur. Keluarga yang menempati rumah itu adalah campuran dari Saumlaki (Ambon) dan Larantuka (Nusa Tenggara Timur). Mereka dipertemukan di Merauke ketika sama-sama merantau dan kemudian memutuskan untuk menikah dan menetap di Kampung Wasur. Keluarga Da Silva begitu masyarakat sering menyebutnya menjadi salah satu bagian dari warga Kampung Wasur yang menghuni kompleks pemukiman sepanjang jalan trans Papua yang terbagi dalam tiga jalur. Berseberangan jalan juga ada rumah-rumah warga yang memerlukan jembatan untuk mencapainya. Got besar yang berada di pinggir jalan dengan air yang berwarna coklat sering dipergunakan oleh anak-anak untuk mandi dan bermain.

Masyarakat Suku Marori-Men Gey yang mayoritas mendiami Kampung Wasur berada di jalur satu dengan kompleks pemukiman yang berada di pinggiran jalan dan memutar hingga jalur tiga. Selebihnya memilih tinggal di luar kompleks pemukiman tersebut yaitu di wilayah ulayat mereka masing-masing. Terdapat tujuh marga besar dari Suku Marori-Men Gey yang saat ini berdomisili di Kampung Wasur yaitu: Gebze, Mahuze, Kaize, Ndiken, Basik-Basik, Samkakai, dan Balagaize. Masing-masing marga mempunyai kisah perjalanan moyang dan cerita-cerita yang menggambarkan bagaimana tumbuhan dan hewan adalah simbol dari kelahiran marga mereka. Cerita-cerita tersebut diwariskan secara turun-temurun dan mempengaruhi kehidupan mereka dalam berhubungan dengan para leluhur (moyang). Lingkungan sekitar Kampung Wasur adalah wilayah hidup dari simbol-simbol marga mereka. Para tetua-tetua kampung menjadi “penjaga” dari cerita moyang masing-masing marga tentang hubungan mereka dengan para hewan atau tumbuhan yang pamali (dilarang) untuk diburu atau dirusak.

Pohon-Pohon Obat dan Burung Ndik    

Salah satu tetua yang saya temui pertama kalinya di Kampung Wasur adalah Lukas Ndiken. Rumahnya adalah bantuan social dari pemerintah seperti juga rumha-rumah lainnya di ruas jalan jalur satu. Di belakang bangunan utama, terdapat dapur tradisional yang terbuat dari kayu dan atap dari daun sagu yang dianyam. Di samping dapur sederhana itu terdapat para-para (tempat duduk) dari kayu tempat kami memulai perbincangan. Di belakang rumahnya adalah hamparan dusun sagu (wilayah tumbuhnya sagu) dan rawa-rawa. Di sini juga terdapat Sumur Wosul, sungai bersejarah yang kemudian menjadi nama kampung ini yaitu Wasur. Teteh (kakek) Lukas Ndiken juga adalah salah satu tokoh dari marga Ndiken dan juga tetua adat di kampung.

Marga Ndiken memiliki simbol marga yaitu pohon Wati yang merupakan pohon yang sangat berarti bagi orang Marind secara umum dan juga Marori Men-Gey. Pohon wati ini juga yang bisa diolah menjadi minuman adat yang mengandung alkohol untuk acara-acara adat dan meminang perempuan. Pohon Wati ini pada sisi yang negative juga dipergunakan untuk menjalankan niat buruk melalui suanggi untuk membunuh orang. Seseorang akan memberikan pohon Wati ini kepada orang lain (yang menjalankan suanggi) untuk membunuh orang lain yang menjadi targetnya. Pohon Wati menjadi symbol dari berjalannya sunggi. Lukas Ndiken menjelaskan tidak dengan mudah menemukan pohon wati di pemukiman penduduk sekarang ini di Wasur. Beberapa diantaranya bisa ditemukan di kebun-kebun belakang rumah penduduk yang berada di pinggir jalan trans Papua. Salah satu yang memilikinya adalah Pius Ndiken, adik kandung Lukas Ndiken sendiri.

Bersama Lukas Ndiken di rumahnya di jalur satu Kampung Wasur

Bersama Lukas Ndiken di rumahnya di jalur satu Kampung Wasur

Pohon Wati diolah menjadi minuman adat yang mengandung alkohol dengan cara mencari akarnya untuk kemudian dibersihkan. Akar dari pohon Wati ini kemudian dicuci bersih dan ditiriskan terlebih dahulu. Akar inilah yang dikunyah dan dicampur dengan air saat mengunyahnya. Kemudian setelah selesai mengunyah pohon Wati tersebut dicampur dengan air dan diaduk rata untuk dipersiapkan menjadi minuman pesta-pesta rakyat bagi Suku Marori Men-Gey. Minuman Wati tersebut kemudian siap diantar ke pihak perempuan jika dalam acara meminang dan siap dihidangkan saat pesta-pesta adat berlangsung. Pohon Wati sendiri memiliki tiga jenis pohon yang bisa dibedakan dari warna kulitnya yaitu: Wati Bera yaitu pohon Wati yang kulit kayu, cabang-cabangnya serta buahnya berwarna merah; Wati Hijau dan Wati Biasa.

Pohon Wati setelah selesai dikunyah, biasanya orang yang mengunyahnya akan meminum cairan manis dari pohon tebu. Oleh sebab itulah saat orang sedang membuat ramuan Wati biasanya akan didampingi oleh pohon tebu. Setelah merasa pahit makan akan langsung meminum cairan manis dari tebu. Selain Wati, bagi marga Ndiken ada juga pohon Yur yang berguna untuk menghilangkan sakit dada. Pohon Yur diambil isi batangnya kemudian dikunyah terlebih dahulu dan dicampur dengan air sebelum diminum. Cara yang lebih praktis yang dipergunakan oleh masyarakat adalah dengan menghisap langsung isi batang pohon Yur tersebut. Khasiat cairan pohon Yur ini dipercaya masyarakat selain untuk menghilangkan sakit dada juga untuk melemaskan otot-otot yang kaku.

Marga Ndiken juga mempunyai pohon yang dinamakan Hoyom. Daging dari pohon ini berkhasiat untuk mengembalikan tenaga yang lemas dan kekurangan darah. Warga kampung sering menyebutnya dengan air pohon Hoyom. Kayu pohon Hoyom pertama-tama akan dikupas kulitnya dan diambil daging dari kayu tersebut. Setelah dapat isi dari kayu tersebut kemudian direbus di air panas dan air dari pohon tersebut kemudian diminum. Jika pohon Hayom yang direbus adalah isi dari pohon, maka pohon Rohor yang justru direbus adalah kulitnya. Air dari kulit Rohini ini yang dipercaya berkhasiat untuk mengembalikan kondisi badan yang swak (lelah dan kekurangan darah). Sementara Ndunga adalah jenis tanaman yang hidup merambat di pohon-pohon. Warga kampung sering memanfaatkannya untuk memperpanjang nafas bagi yang mengalami penyakit ganguan pernafasan dan penyakit TBC. Cara memanfaatkannya adalah dengan mengambil buah dari Ndunga ini kemudian mengiris-irisnya tipis dan mengeringkannya. Langkah selanjutnya adalah merebusnya dan air dari hasil rebusan itulah yang diminum.

Selain memiliki simbol pohon Wati, marga Ndiken juga memiliki hubungan sejarah dengan burung bernama Ndik yang merupakan moyang dan asal mula nama marga Ndiken. Burung Ndik ini adalah burung besar yang hidup di rawa-rawa sekitar wilayah kampung lama dari Wasur sendiri yaitu Mbur dan sekitar wilayah dusun sagu dan sumur besar yang bernama Wosul (yang kini adalah wilayah Kampung Wasur). Burung Ndik ini adalah burung besar menyerupai dari burung Kaswari. Lukas Ndiken menuturkan bahwa burung Ndik ini terbang mengitari wilayah-wilayah dusun sagu dan pada saat itulah leluhur (moyang) dari marga Ndiken ikut bersama burung Ndik tersebut. Leluhur marga Ndiken ini bersama-sama dengan burung Ndik menyinggahi tempat-tempat penting yang kini menjadi wilayah ulayat adat dari marga Ndiken.

Lukas Ndiken selanjutnya mengisahkan bahwa burung Ndik terbang dan singgah ke tempat-tempat seperti gunung-gunung kecil, pasir-pasir yang berada di wilayah Mbur dan Wosul, menyingahi sumur besar alam dan kemudian menuju ke arah laut. Burung Ndik bersama leluhur marga Ndiken itulah yang mengitari tempat-tempat bersejarah. Hingga saat ini burung Ndik meskipun terancam hampir punah namun masih tetap ada di daerah Kondo di Merauke.

Saat mewawancarai Lukas Ndiken di belakang rumahnya di Kampung Wasur

Saat mewawancarai Lukas Ndiken di belakang rumahnya di Kampung Wasur

Berdasarkan kisah perjalanan burung Ndik inilah marga Ndiken kemudian menentukan tempat-tempat sacral dari perjalanan leluhur bersama burung Ndik. Lukas Ndiken sebagai salah satu tetua marga dari Ndiken menceritakan bahwa tempat-tempat penting tersebut diantaranya adalah: Wosul yaitu wilayah yang terdiri dari sumur tua yang menjadi tempat seluruh warga kampung menyandarkan kehidupan untuk kebutuhan air bersih. Wosul adalah tujuan dari warga kampung untuk mencari kehidupan saat masih berada di kampung lama yaitu Mbur. Meskipun pada musim kemarau, air di sumur tua Wosul tetap akan mengalir dan menghidupi seluruh warga kampung. Di sekitar wilayah Wosul juga terdapat beberapa daerah dusun sagu tempat mama-mama (ibu-ibu) biasa menokok sagu dan dibawa ke kampung lama Mbur. Wilayah “mencari” (untuk sumber kehidupan) adalah berada di wilayah Wosul karena terdapat sumur tua dan dusun-dusun sagu, sementara untuk menetap adalah di Mbur. Seiring berjalannya waktu, karena perjalanan jauh dari tempat tinggal yaitu kampung lama di Mbur dan tempat penghidupan awarga di Wosul, maka kampung dipindahkan ke dekat dengan Wosul dan hingga kini berubah nama menjadi Wasur.

Marga Ndiken mempunyai tempat-tempat penting diantaranya adalah: Dusun Wosul yang terdiri dari sumur tua sumber mata air dan dusun-dusun sagu. Bulgatel yaitu tempat tumbuhnya kayu-kayu yang disebut dengan dusun kayu. Upli yaitu dusun kayu tempat masyarakat menanam dan memelihara kayu. Dusun ini juga tempat mereka mencari kayu-kayu yang sudah semestinya untuk ditebang untuk keperluan membangun rumah. Tempat penting lainnya adalah Pomdem yang juga merupakan dusun kayu dan juga rawa-rawa. Di Pomdem ini selain kayu juga terdapat dusun sagu dan juga masyarakat sering memanfaatkannya untuk mencari ikan. Sedangkan Melima merupakan adalah tempat untuk khusus bagi marga Ndiken mencari ikan. Melima adalah rawa-rawa yang diyakini oleh marga Ndiken banyak terdapat ikan-ikan di dalamnya. Begitu juga dengan tempat bernama Ndikbob yang juga merupakan rawa-rawa khusus bagi marga Ndiken untuk mencari ikan. Beberapa tempat lagi yang merupakan lokasi mencari ikan adalah: Kalai, dan Welembis. Sementara Sinde adalah lokasi untuk tempat mencari kayu bakar. Di tempat ini marga Ndiken akan terlebih dahulu memotong-motong kayu bakar yang sudah kering dan kemudian dikumpulkan untuk dibawa ke kampung untuk memasak. Di tempat Sinde ini diperkenankan untuk mensensor kayu (memotong kayu dengan menggunakan mesin) tapi hanya untuk kayu-kayu yang sudah kering, tidak bagi kayu yang masih muda. Marga Ndiken, menurut penuturan Lukas Ndiken, terlebih dahulu akan memotong kayu-kayu yang sudah kering yang berada di dalam hutan. Jikapun harus memotong adalah kayu-kayu kering. Mereka melakukan ini untuk sekaligus membersihkan hutan.

Bagi marga Ndiken, mereka telah memiliki wilayah-wilayah untuk mencari kayu bakar, ikan, dan juga dusun-dusun sagu. Pemilahan tempat inilah yang membuat mereka sudah mengetahui tujuan jika memenuhi suatu keperluan. Kalaupun harus menggunakan mesin sensor kayu, mereka hanya akan memotongnya di wilayah pinggir dusun kayu saja. Sedangkan di dalam wilayah dusun kayu masih banyak terdapat kayu-kayu dan juga sekaligus tempat-tempat sakral bagi marga Ndiken. Ciri-ciri tempat sakral bagi marga Ndiken adalah pohon-pohon nani (beringin) yang tumbuh menyebar di wilayah-wilayah adat mereka di Kampung Wasur. Beberapa diantaranya berada tepat di belakang rumah Lukas Ndiken