Dominikus Kaize: Menuju Bambu Kuning

Pagi itu, 14 April 2016, belum juga jarum jam menunjuk angka tujuh, di pintu belakang rumah saya tinggal sudah terdengar seseorang mengetok pintu. Paitua (bapak tua) Dominikus Kaize yang telah saya temui pada malam sehari sebelumnya bersama istrinya datang kembali ke rumah. Ia ternyata menepati janjinya untuk mengajak saya menuju ke Mesei, yaitu tempat sacral marga Kaize yang merupakan dusun sagu dan kayu. Nah, sebelum menuju ke Mesei, kita akan melewati wilayah bambu kuning yang merupakan salah satu wilayah sakral dari marga Kaize. Pagi itu, sekitar pukul 07.00 WIT saya sudah harus bersiap-siap dan sesegera mungkin bangun dari tidur. Pak Domin begitu warga sering memanggilnya telah menunggu di depan rumah yang saya tempati selama penelitian lapangan. Pak Domin telah siap dengan menggunakan baju loreng berwarna biru tua dan tidak lupa di lengannya terselempang pisau panjang yang selalu dibawanya kemanapun. Ia pernah menuturkan kepada saya bahwa dengan membawa alat itu ia merasa terjaga dari mara bahaya.

Pak Domin menuturkan bahwa ia baru saja datang dari Mesei untuk mencarikan kuda-kudanya makan rumput. Ia terbiasa pada pagi hari akan menyempatkan diri untuk menggiring ketiga kudanya ke Mesei. Kuda-kuda inilah yang membantunya untuk menyambung hidup ke hutan-hutan para leluhur untuk mencari kebutuhan sehari-hari. Kuda-kuda ini yang membantunya untuk menembus semak-semak hutan untuk mencari sagu atau hanya sekadar untuk melihat apakah kayu-kayu milik marga mereka (Kaize) masih ada atau sudah ditebang oleh orang liar. Ia menuturkan bahwa sangat sedikit orang-orang di kampung yang mempunyai kuda seperti dirinya. Bisa dihitung dengan jari. Ini bisa dimaklumi karena mengurus kuda sangat berat dan membutuhkan tenaga ekstra.

Saat berada di Mesei bersama kuda-kudanya itulah Pak Domin mengingat saya. Betul, saya pernah menitipkan pesan permintaan kepadanya untuk mengajak ke Mesei sebagai tempat sacral dari marga Kaize. Kebetulan juga tempatnya adalah tepat berada di belakang tempat pemondokan saya selama berada di Kampung Wasur. Seketika itu pula ia kemudian bergegas kembali ke kampung dan mengajak saya untuk ke Mesei. Kebetulan juga ia harus kembali ke Mesei untuk melihat kuda-kudanya yang diikat dan memastikannya sudah makan.

Saya pun menyanggupinya. Saya pergi dengan perlengkapan seadanya yaitu kamera saku dan juga alat perekam sederhana. Tapi saya berpikir inilah momen yang tepat untuk saya mengenal Mesei itu. Bergegas saya berjalan mengiringinya dari belakang. Menyusuri jalan setapak besar di sebelah rumah pondokan saya, kami berjalan sambil Pak Domin berhenti dan memberikan keterangan seputar tempat-tempat yang dianggapnya perlu.  1

Perjalanan menyusuri jalan menuju bambu kuning bersama Dominikus Kaize (foto: I Ngurah Suryawan)

Perjalanan menyusuri jalan menuju bambu kuning bersama Dominikus Kaize (foto: I Ngurah Suryawan)

Kami berjalan menyusuri jalan besar yang penuh dengan rumput. Mulailah Pak Domin menuturkan bahwa dari pinggir jalan trans Papua Merauke ini, masuk ke jalan menuju Mesei sudah dibagi di sebelah kiri dan kanan jalan tersebut. Tanah tersebut dibagi antara marga Kaize dan Basik-Basik dengan batas jalan tersebut. Di sepanjang jalan setapak tersebut juga ada kali (sungai) Menbe adalah bahasa Marori yang akan kering pada musim kemarau. Sungai Menbe  inilah yang menjadi tempat penting bagi marga Kaize dan Basik-Basik dalam menentukan batas wilayah mereka menuju Mesei. Terdapat juga jembatan kecil yang membelah jalan tersebut.

Melewati jembatan kecil tersebut, belum sampai 50 meter, Pak Domin sudah menunjukkan bahwa di sebelah kirinya adalah kuburan umum warga di Kampung Wasur. Tanah yang digunakan sebagai kuburan warga kampung ini adalah milik dari (alm) Pascalis Kaize yang juga merupakan mantan Ketua Adat dari Suku Marori Mengey di Kampung Wasur. Kuburan tersebut berada di tanah marga Kaize dimana Pak Domin sekarang memanfaatkannya untuk berkebun. (alm) Pascalis Kaize adalah kakak kandung dari Pak Domin. Ia pun kemudian menujukkan bahwa kuburan dengan seng berwarna biru adalah lokasi dari kuburan dari (alm) Wilhelmus Gebze yang sering disebut dengan bapak ketua adat pertama. Di lokasi kuburan tersebut juga terdapat kuburan dari Bapak (alm) Pascalis Kaize yang juga pernah menjadi ketua adat. Kuburan dari (alm) Pascalis Kaize masih baru dengan tanda salib dan belum dibuatkan bangunan seng. Pak Domin menjelaskan bahwa kuburan dengan tempat yang besar menggunakan seng itu adalah kuburan dari mantan ketua-ketua adat di Kampung Wasur ini. Seluruh masyarakat di Waskam (Wasur Kampung), begitu mereka sering menyebutkan dikuburkan di kuburan kampung di atas tanah marga Kaize ini, lebih tepatnya kepemilikan dari (alm) Pascalis Kaize.

Saya dan Dominikus Kaize di Kali Bungatel (foto: I Ngurah Suryawan)

Saya dan Dominikus Kaize di Kali Bungatel (foto: I Ngurah Suryawan)

Kami kemudian melanjutkan perjalanan menuju ke arah Bambu Kuning dan Mes masuk ke dalam dari jalan setapak yang dari tadi kami lalui. Lebih ke dalam ternyata kepemilikan tanah mulai beragam. Pak Domin kemudian menjelaskan bahwa batas tanah berikutnya adalah kepemilikan dari Kaize dan Gebze. Batas dari tanah ulayat kedua marga ini adalah kali alam yang ditutupi oleh semak-semak. Pak Domin kemudian menujukkan kali alam tersebut sambil menuntun saya untuk melanjutkan perjalanan.

Kami kemudian tiba di kali (sungai) yang bernama Bungatel yang merupakan perbatasan dari antara marga Gebze dan Kaize. Kaize yang dimaksud adalah Pak Domin sendiri yang mempunyai hak ulayat atas tanah tersebut. Kali Bungatel menjadi cirri alam yang menjadi batasnya. Saya melihat kali kecil yang disekelilingnya ditumbuhi oleh bambu kuning. Pak Domin kemudian menjelaskan bahwa kita dari Kali Bungatel bisa melihat bambu kuning yang merupakan tumbuhan yang menyertai kehidupan para moyang dari marga Kaize.

Dominikus Kaize dan dua kudanya di Bambu Kuning (foto: I Ngurah Suryawan)

Dominikus Kaize dan dua kudanya di Bambu Kuning (foto: I Ngurah Suryawan)

Pak Domin kemudian menjelaskan bahwa bambu kuning memiliki sejarah dari zaman para leluhur, nenek moyang mereka dari marga Kaize. Sejarahnya adalah pada saat moyang-moyang marga Kaize zaman dulu belum ada api mereka menggunakan bambu untuk membuat apai. Nah, bambu kuning inilah yang berjasa besar untuk menghadirkan api bagi para moyang marga Kaize ini. Cara yang para moyang lakukan adalah dengan menggosok-gosokkan bambu kuning tersebut dan kemudian muncullah api. Bambu kuning yang digunakan para moyang  tersebut masih ada hingga kini. Pak Domin kemudian menunjukan gugusan pohon bambu yang berada tepat di belakang kami. Pohon bambu kuning tampak tumbuh sesak mengitari pesisir Kali Bungatel. Bambu kuning tersebut menjadi peninggalan bersejarah marga Kaize yang ada hingga kini dan menjadi tanda dari para moyang Kaize yang juga diakui oleh marga lainnya.

Bambu kuning hingga saat ini disakralkan oleh marga Kaize dan menjadi simbol marga karena menjadikan api untuk kelangsungan hidup dari para moyang Kaize. Salah satu totem dari marga Kaize adalah Kaize api yang merupakan moyang dari Pak Domin sendiri. Bambu kuning dianggap berjasa karena menghadirkan api. Bambu kuning dalam bahasa Marori disebut dengan Werei Suba.

Saya bersama Dominikus Kaize di Bambu Kuning (foto: I Ngurah Suryawan)

Saya bersama Dominikus Kaize di Bambu Kuning (foto: I Ngurah Suryawan)

References

1.
Saya merekam keseluruhan perjalanan kami pada tanggal 14 April 2016 tersebut dari Kampung Wasur yang rencananya menuju Mesei. Kami akhirnya terhenti di daerah Bambu Kuning karena jalan menuju Mesei tidak memungkinkan untuk dilalui. Pak Domin menyarankan kami hingga di Bambu Kuning saja. Keseluruhan rekaman perjalanan ada di video kamera saku Sony dengan kualitas yang rendah.