Markus Langgai Mahuze: Kondo dan Leluhur Marga Mahuze
Marga Mahuze dan sebagian besar marga-marga Suku Marind dan Marori lainnya di Kabupaten Merauke sering menyebutkan bahwa Kampung Kondo adalah kampung yang bersejarah dan mempunyai arti penting bagi perkembangan orang-orang Marind dan Marori. Hal itu juga yang diamini oleh Markus Mahuze. Sejarah perjalanan moyang dari marga Mahuze cikal bakalnya berawal dari Kondo. Dari Kondo inilah berawal perjalanan leluhur/moyang marga Mahuze yang kemudian masuk ke wilayah yang bernama Taram. Dari daerah Taram inilah para moyang/leluhur dari marga Mahuze kemudian menyusuri daerah ini hingga tiba di sebuah sungai yang berbatasan dengan Kali maro.
Perjalanan moyang Mahuze menuju Merauke dilalui dengan cara menggunakan perahu. Mereka menyebut perahu tersebut engan Yom. Para moyang mendayung perahu menggunakan dua dayung yang mereka sebut dengan nama Gaba-Gaba. Mereka sebut dengan Gaba-Gaba untuk menunjukkan kayu pendayung yang mereka gunakan selama berlayar menggunakan perahu. Namun belum sampai ke Merauke (Kali Maro) tiba-tiba tempat mereka mengembangkan layar patah sehingga mereka kemudian mencari daratan dengan cara mendayung. Sesampainya di daratan tersebut moyang turun menginjak tanah dan berdiri menemukan pohon sagu di depan mereka. Sejarah perjalanan para moyang marga Mahuze dengan perahu dan menemukan pohon sagu itulah yang mendasari kepercayaan bahwa simbol dari marga Mahuze adalah sagu. Bagi mereka sagu mempunyai arti penting karena menjadi tanaman yang bersejarah bagi kehidupan para moyang mereka. Sagu bagi marga Mahuze disebut dengan Ngi Moro (pohon sagu).
Begitu berarti dan bersejarahnya sagu sehingga tempat-tempat sakral yang menjadi sumber kehidupan dari marga Mahuze di kampung-kampung adalah dusun sagu yang tersebar di Kampung Wasur. Sagu ini tumbuh di hutan-hutan yang menjadi tempat pamali (dilarang) untuk dirusak. Kegunaannya adalah untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat sehari-hari ketika sumber sagu, keladi, dan papatas masih menjadi bahan pangan kebutuhan pokok masyarakat di Wasur. Namun sekarang sudah jauh berubah. Masyarakat lebih senang mengkonsumsi nasi daripada sagu dan bahan pangan lokal yang bisa ditanam di kebun-kebun. Yang terjadi sekarang di Wasur, kebun-kebun kering karena tidak ada yang menanam bahan kebutuhan pangan yang memiliki akar sejarah yaitu sagu.

Bersama Markus Mahuze saat mengunjungi kampung lama Mbur (foto: I Ngurah Suryawan)
Salah satu tempat sakral yang memiliki arti penting bagi marga Mahuze di Kampung Wasur adalah hutan Mese. Hutan Mese adalah wilayah marga Mahuze dimana pohon-pohon sagu tumbuh liar dan besar-besar. Meskipun demikian mereka tidak bisa sembarangan untuk mencari sagu di wilayah Mese ini. Bagi mereka Mese adalah wilayah sakral dan tidak boleh sagu ditebang sembarangan. Para moyang tidak bisa potong pohon sagu di Mese karena diyakini akan berbahaya untuk keselamatan orang tersebut.

Merekam keterangan dari Markus Mahuze tentang kampung lama Mbur (foto: I Ngurah Suryawan)
Satu hal penting selama menokok sagu adalah ketersediaan air. Hanya dengan di hutan yang ketersediaan air melimpah saja mereka bisa mengolah saku. Di dusun-dusun sagu tersebutlah terdapat sumber-sumber air berupa sumur-sumur yang disakralkan. Bagi marga Mahuze, di dusun sagu mereka terdapat sumur-sumur tua sebagai sumber air yang disebut dengan Pangker. Di Pangker-lah sumber air tersedia untuk menokok sagu. Sagu menjadi bahan makanan yang selain penting juga mempunyai hubungan dengan leluhur orang Marori dan Marind secara umum.

Mewawancarai Markus Mahuze dan Kepala Kampung Wasur, Tobias Gebze (foto: I Ngurah Suryawan)
Markus Mahuze mengungkapkan situasi kini di Wasur khususnya, dimana sagu mulai tidak dihargai dalam kehidupan sehari-hari masyarakat kampung. Di hutan-hutan sagu yang berada di sekitar kampong situasinya juga tidak berbeda yaitu tidak dihargai. Markus Mahuze mengungkapkan bahwa di hutan-hutan sagu orang Marori dan marga Mahuze khususnya sudah terbakar meski masih ada sedikit yang tersisa. Yang merusaknya adalah orang Marori sendiri untuk kepentingan uang, menebang kayu dan merusak hutan sehingga kering dan menjadi terbakar saat musim kemarau. Orang-orang kota (Merauke) juga datang ke Wasur untuk membeli sagu dan kayu yang disediakan oleh orang Marori sendiri. Orang-orang kota ini datang dengan mobil tidak permisi dengan pemilik hak ulayat tapi langsung menuju orang kampung dan mengangkut kayu dan sagu seenaknya. Cara-cara membakar hutan inilah yang menyebabkan kerusakan pohon sagu di wilayah dusun-dusun sagu yang dimiliki oleh orang Marori di Kampung Wasur.
Marga Mahuze juga sangat menghormati hewan anjing sebagai hewan yang dianggap pamali untuk dibunuh. Marga Mahuze menyebut anjing dengan nama Koro. Jangan pernah sekali-sekali untuk mencoba membunuh anjing yang dipercayai oleh marga Mahuze sebagai lambang marga. Marga Mahuze mempercayai pada anjing ada leluhur yang melekat di dalamnya yaitu para moyang dari marga Mahuze. Jika ada warga yang memukul atau membunuh anjing maka marga Mahuze akan marah. Marga lainnya sudah mengetahui tentang hal ini sehingga anjing-anjing yang ada di Wasur tidak pernah dibunuh. Hewan lain yang dianggap sacral oleh marga Mahuze adalah burung elang yang disebut dengan Keke yaitu dadanya yang berwarna putih.