Dominikus Kaize: Perjalanan Moyang Kaize Api
Saya mengundang Dominikus Kaize dan istrinya Alisabeth Mahuze pada 13 April 2016 untuk makan malam ke rumah tempat saya tinggal selama penelitian lapangan di Kampung Wasur. Saya senang sekali karena mereka berdua memenuhi undangan saya dan datang bersama dengan anak, menantu dan cucu-cucunya. Malam itu, suasana rumah tempat saya tinggal sangat ramai. Pasangan suami istri ini tinggal jauh dari rumah tempat saya tinggal. Mereka datang menggunakan sepeda motor sekitar jam 19.00 WIT lewat. Yang lainnya berjalan kaki. Saya mendengar dari beberapa warga susah sekali bagi Pak Domin, begitu ia biasa disapa oleh warga kampung, untuk bisa memenuhi undangan seseorang datang makan malam. Tapi saya bersyukur Pak Domin dan keluarganya bisa datang memenuhi undangan saya.
Pak Domin dan istrinya menggunakan pakaian sederhana dengan noken (tas tradisional) dan parang. Anak, cucu, dan menantunya dengan setia menunggu di dapur sementara kami (saya, Pak Domin dan istrinya) melakukan wawancara. Setelah semuanya siap, barulah Pak Domin memulai ceritanya tentang perjalanan moyangnya dari Kaize. Ia menuturkan bahwa perjalanan leluhurnya dimuali dari matahari naik menuju ke matahari turun. Dalam menempuh perjalanan panjang tersebut, para moyang melakukan persiapan yang matang. Diantaranya yang mereka bawa adalah bekal makanan yang terdiri dari keladi, patatas, dan pisang selama di perjalanan. Salah satu bekal penting yang mereka bawa adalah api yang dipergunakan sebagai penerangan selama dalam perjalanan. Berbekal bahan makanan dan api itulah moyang Kaize melakukan perjalanan sampai ke tempat tujuan ke wilayah timur yang mereka sebut dengan Sinai, yang kini berada di wilayah Lepro Sri (Mopah Lama).
Marga Kaize adalah marga besar dengan berbagai sub-bagian marganya. Dominikus Kaize dan keluarganya di Kampung Wasur adalah marga Kaize Api karena berkaitan dengan perjalanan moyang mereka yang membawa api menuju ke Sinai. Nah, dalam perjalanannya menuju Sinai itu, moyang Kaize Api tidak lupa juga membawa busur untuk menjaga diri dari serangan hewan buas di dalam hutan. Dalam perjalanan panjang tersebut, moyang Kaize Api memikul busur yang terbuat dari bambu dan juga api. Bambu untuk membuat busur moyang Kaize Api hingga saat ini masih tumbuh di tempat-tempat sakral dari marga Kaize Api. Bambu tersebut bernama bambu kuning yang terletak di wilayah adat marga Kaize Api bersama dengan tempat-tempat sakral dan penting lainnya.
Wilayah-wilayah sakral atau penting bagi marga Kaize Api diantaranya adalah Rau yang merupakan dusun sagu yang tidak sembarang orang dari marga lain bisa masuk tanpa izin marga Kaize Api. Cabang dari Rau adalah wilayah dusun sagu juga bernama Mesei yang berada di pinggiran Kampung Wasur. Dusun sagu Mesei adalah hutan lebat yang didalamnya terdapat berbagai jenis tanaman untuk obat. Marga Kaize Api mempunyai hak ulayat atas dusun tersebut sejak zaman moyang yang dibuktikan dengan jalan marga yang berada di pinggir jalan trans Papua tepat berada di samping rumah saya tinggal selama penelitian lapangan. Bukti lainnya yaitu pohon bambu kuning yang merupakan alat untuk membuat busur moyang Kaize Api masih hidup sampai sekarang dan dilarang untuk ditebang.

Saya bersama dengan Dominikus Kaize dan istrinya, Alisabeth Mahuze
Marga Kaize Api ini mempunyai keterkaitan dengan burung Kasuari yang berjalan di bawah tanah. Burung ini merupakan simbol totem selain api yang dipergunakan para moyang untuk penunjuk jalan. Bagain-bagian kecil lain dari marga Kaize ini adalah kangguru yang dadanya berwarna merah hingga ke bawah sampai ke ekornya. Jadi kangguru ini keseluruhan badannya berwarna merah. Selain mempunyai simbol kangguru, Dominikus Kaize menuturkan bahwa burung Kasuari adalah binatang yang sakral dan dilarang untuk diburu. Selain itu sudah tentu bambu kuning yang berada di dusun sagu wilayah Kaize Api juga dilarang untuk dipotong. Marga Kaize Api juga meyakini bahwa ada satu burung bernama Kurie/Mokon yang juga dilarang untuk diburu.
Moyang Marah karena Hutan Terbakar dan Rusak
Di tengah bercerita tentang perjalanan moyang dan tempat-tempat sakral marga Kaize Api, Dominikus Kaize tiba-tiba teringat pengalamannya “bertemu” dengan moyang di Mesei. Ceritanya begini: Semua masyarakat di Kampung Wasur sudah sama-sama saling mengetahui bahwa dong semua (mereka semua) saling pancuri (pencuri) kayu di tengah-tengah hutan. Warga masyarakat tidak memikirkan lagi batas-batas wilayah marga untuk mereka mencari kayu. Hutan-hutan yang ada sekarang di Kampung Wasur menurut Dominikus Kaize jauh sekali berbeda dibandingkan sebelumya. Hutan-hutan sekarang yang sebagian besar adalah wilayah adat tujuh marga besar Suku Marori Mengey sudah banyak yang terbakar saat musim kemarau penjang, gundul karena pohon-pohon besarnya banyak yang ditebang untuk mendapatkan uang bagi warga kampung. Tidak ada yang berani melarang penebangan kayu ini karena sudah menjadi sumber penghidupan bagi mereka. “Sensor kayu untuk dapat uang” begitu masyarakat Kampung Wasur sering menyebutnya.

Dominikus Kaize menunjukkan arah menuju lokasi bambu kuning dan tempatnya memelihara kuda.
Dominikus Kaize mengungkapkan bahwa jika ia bersama dengan anak-anaknya sedang di dalam hutan, mereka sering sekali mendengar suara-suara mesin sensor kayu yang membelah keheningan hutan. Sudah dapat dipastikan bahwa yang melakukan itu tidak lain adalah saudara-saudara mereka satu kampung di Wasur. Saya menyaksikan sendiri bagaimana warga kampung yang sebagian adalah anak-anak muda dan sebagian yang sudah tua, berjalan dengan motor berboncengan dengan membawa alat sensor siap-siap menuju hutan untuk menebang kayu. Di kios ujung kampung saya melihat dua motor berhenti untuk membeli bensin dan minyak untuk alat sensor. Jumlah mereka empat orang dan sudah siap dengan perlengkapan menuju ke dalam hutan. Saya melihat mereka sudah siap dengan jerigen-jerigen berisi bahan bakar mesin sensor dan yang berwarna merah adalah air. Tidak terlupakan saya melihat rantang-rantang tempat makanan dijinjing oleh dua diantara mereka. Berselang beberapa menit setelah dua motor ini berlalu dari kios, saya melihat dua mobil bak terbuka berwarna hitam dan putih merapat di depan kios. Ternyata mereka sedang menuju ke lokasi penebangan dan siap untuk mengangkutnya. Di depan kios juga terdapat banyak balok-balok kayu di pinggir jalan trans Papua yang siap untuk diangkut oleh para pendah kayu. Kayu-kayu tersebut disamping untuk keperluan memasak sehari-hari oleh masyarakat juga dipergunakan untuk memasak tahu di Kota Merauke.
Kini dua hutan yang menjadi hak adat dari marga Kaize Api di bagian pinggirnya sudah banyak yang gundul karena disensor dan juga terbakar. Namun ia yang bersama anak-anaknya sempat berjalan menuju ke arah dalam hutan ulayat tersebut masih melihat hutan dan beragam tumbuhan masih tumbuh dengan alami belum ada sensor kayu maupun terbakar. Disamping itu memang di bagian dalam hutan adat tersebut tidak diperbolehkan untuk menembang pohon dan berburu bintang. Salah satu hutan adat yang sering dikunjungi oleh Dominikus Kaize bersama dengan anak-anaknya adalah Mesei, yaitu hutan tempatnya memelihara kuda dan juga mengambil segala jenis kebutuhan untuk hidup. Di Mesei juga ia melihat kejadian aneh yang menjadi petunjuk sekaligus peringatan baginya bahwa para moyang dari marga Ndiken Api sedang marah karena hutan tempat mereka hidup sudah rusak, terbakar dan selalu bising mendengar deru suara mesin sensor kayu.
Pada suatu di hari di tahun 2015, Dominikus Kaize menuju tempatnya memelihara lima ekor kudanya di bambu kuning dan langsung menuju Mesei untuk mencari kayu-kayu yang sudah kering sebagai kayu bakar. Entah apa firasatnya pada hari itu sehingga berkeinginan menuju Mesei yang merupakan hutan sakral dari marga Kaize Api. Hutan luas Mesei sebagian besar ditumbuhi oleh pohon sagu, rawa-rawa, dan pohon kayu. Terdapat sungai kecil di tengah hutan yang merupakan cabang dari Sungai Rou. Saat berada di tengah hutan itulah Paitua Domin (Dominikus Kaize) melihat mahluk aneh yang berada di depannya. Mahluk tersebut tubuhnya adalah manusia dengan wajah hitam yang menyeramkan. Seluruh badannya terbakar dan berwarna hitam gelap dengan melepuh. Ya, hanya badan saja, tidak mempunyai kaki dan tangan. Kedua bagian tubuh itu terputus, sehingga yang bisa dilihat hanya bagian tubuh yang hitam dan terbakar.
Dominikus Kaize kembali menuturkan bahwa ia melihat mahluk manusia tanpa tangan dan kaki yang ia yakini sebagai moyang yang sedang kesakitan sehingga kehilangan kaki dan tangannya. Masyarakat Marori-Mengey menyebutnya dengan nama Kudung yang diyakini oleh Dominikus Kaize sebagai leluhur yang sedang cacat dan bersedih. Ia semakin yakin ketika melihat seluruh tubuhnya hitam dan terbakar. Ia menyakini bahwa para moyang Kaize itu telah terbakar karena hutan-hutan di wilayah moyang mereka telah dibakar oleh orang-orang yang ingin membangun kebun dan juga membuat bising dengan membunyikan mesin sensor di tengah hutan.
Dominikus Kaize melihat mahluk manusia tanpa tangan dan kaki itu tepat pada jam 12 siang ketika ia bersiap untuk meninggalkan Mesei setelah selesai memberi makan kelima kudanya. Ia menuturkan bahwa mahluk tersebut datang mendekat kepadanya dan perlahan mulai duduk tepat di depannya. Setelah duduk, mahluk tersebut yang mukanya penuh dengan air mata kemudian mengangkat kepalanya dan kemudian bersuara, “Auuuuuuh…” sambil membuka mulutnya lebar-lebar. Dominikus Kaize meyakini bahwa suara tersebut adalah wujud dari kesakitannya setelah wilayahnya tinggal yaitu hutan-hutan di wilayah adat marga Kaize Api rusak. “Sudah banyak tempat-tempat yang rusak. Manusia yang bikin rusak,” ujarnya singkat. Hutan-hutan marga Kaize Api sebelumnya sangat kaya dengan bambu-bambu yang tumbuh banyak, kayu-kayu, dan sudah tentu adalah sagu yang menjadi sumber penghidupan bagi warga. Namun yang terjadi sekarang peruntukan bambu misalnya sudah sangat menyimpang dan merusak anak muda Papua. Bambu-bambu yang dicari oleh orang dari kota dipergunakan untuk penyulingan sopi dari air kelapa.